Diberdayakan oleh Blogger.

Waduh! Pekerjaan Sampingan Siswi SMA Di Jepang Ini Bakal Bikin Lelaki Ketagihan!!

Iklan atas

Iklan tengah
Waduh! Pekerjaan Sampingan Siswi SMA Di Jepang Ini Bakal Bikin Lelaki Ketagihan!!
Waduh! Pekerjaan Sampingan Siswi SMA Di Jepang Ini Bakal Bikin Lelaki Ketagihan!!
Jepang dikenal dengan teknologinya yang maju. Di sisi lain, negeri Matahari Terbit itu juga dikenal dengan maraknya berbagai praktek pr0stitus1.

Jepang menjadi surga para lelaki hidung belang karena berbagai pusat pel4curan menawarkan aneka hiburan es3k-es3k beragam. Dari S0apLand hingga C0splayBox.

Tragisnya, dalam beberapa tahun terakhir, marak sejumlah layanan pel4curan jenis baru. Layanan yang biasa disebut Joshi Kosei Osanpo (High School Walking).

Joshi Kosei awalnya merupakan pekerjaan sambilan yang dilakukan para siswi SMA di Jepang. Mereka bertugas membagikan brosur kafe dan kadang siap menemani minum para tamu.

Namun belakangan, Joshi Kosei berkembang menjadi sarana pel4curan terselubung dengan berkedok kafe. Para siswi SMA yang awalnya hanya menjadi teman minum, bisa diajak kencan.

Seperti dilansir Dailymail, kisah gelap ini diungkapkan oleh seorang wartawan asal Brooklyn, Simon Ostrovsky. Dia membuat film dokumenter berjudul "Girl for Sale".

Simon melakukan penelusuran di wilayah Akibahara, Jepang. Di mana di wilayah itu marak para siswi SMA bekerja sambilan menjadi Joshi Kosei di pinggir-pinggir jalan.

Para siswi ini membagikan brosur dan mempromosikan kafe mereka. Jika ada pengunjung yang berminat, mereka bisa minum dan meminta mengobrol dengan para siswi yang ada.

Dari penelusuran Simon, para pengunjung dikenai bayaran hingga $30 (Rp400 ribuan) jika ingin menggunakan jasa Joshi Kosei. Mereka pun mendapat ruangan kecil untuk mengobrol secara pribadi.

Seorang Joshi Kosei (JK) pun membeberkan kepada Simon soal pel4curan terselubung ini. Dia mengaku sudah menjadi JK sejak berusia 16 tahun.

Dia terpaksa terjun ke bisnis ini sebagai pelarian. Karena kehidupan rumahnya yang kurang harmonis. Sehingga dia merasa tidak memiliki tempat tinggal.

"Saya merasa tidak punya tempat tinggal. Ketika saya bekerja membagi-bagikan brosur di Akibahara, saya bisa melupakan tentang kehidupan sehari-hari saya di rumah," katanya.

Awalnya, dia hanya menjadi teman ngobrol para tamu pria. Namun lama-lama, para pengunjung meminta sesuatu yang lebih. Dari meraba payudara hingga berhubungan intim.

Tawaran uang besar dari para pengunjung yang rata-rata berusia paruh baya membuat para Joshi Kosei sulit menolak. Jika harga dinilai cocok, transaksi seks pun terjalin.

Sumber Simon tersebut pun mengaku telah berhubungan intim dengan seorang pelanggan saat dia baru berusia 18 tahun. "Awalnya, saya ingin lurus-lurus saja. Tapi situasi berjalan begitu saja."

Dan para Joshi Kosei tidak perlu berdandan saat berkencan. Sebab para pelanggan  menyukai penampilan natural para Joshi Kosei yang seperti anak sekolahan (kemeja putih dan rok mini kotak-kotak).

Kehidupan Tragis Joshi Kosei

Seorang wartawan Amerika yang sudah lama menetap di Jepang, Jake Adestein mengungkapkan, profesi Joshi Kosei sebenarnya sudah marak sejak era 1990-an.

Diakuinya, Joshi Kosei hanya sebatas profesi untuk menemani minum para pengunjung kafe. Namun lamban laun para Joshi Kosei berubah fungsi menjadi teman kencan.

Fenomena ini pun dimanfaatkan sejumlah kafe di Akibahara sebagai ladang bisnis yang menggiurkan. Mereka merekrut para siswi SMA yang bersedia diajak kencan pengunjung.

Profesi ini pun terlihat menguntungkan bagi para Joshi Kosei yang ingin mendapat uang secara cepat. Namun ada fakta tragis yang dibeberkan Yumeno Nito.

Yumeno Nito yang bekerja sebagai pekerja sosial, banyak menemukan bahwa tidak sedikit para  Joshi Kosei yanga hanya dieksploitasi tanpa mendapatkan uang.

Yumeno Nito mengakui telah menyelamatkan sekitar 100 Yumeno Nito yang terpaksa bertahan di profesi itu karena tidak memiliki tempat untuk pulang.

Yang lebih ironisnya, para siswa SMA yang diketahui berprofesi sebagai Joshi Kosei menjadi sosok yang dijauhi oleh masyarakat sekitar. Kehidupan mereka pun terisolasi.

Selain itu, Jepang yang memiliki budaya malu yang masih sangat kental membuat banyak Joshi Kosei tidak diterima oleh keluarga mereka dan tidak bisa pulang ke rumah.

Kondisi ini membuat para Joshi Kosei sulit keluar dari profesi ini. Yumeno Nito mengungkapkan banyak Joshi Kosei yang bunuh diri karena tidak diterima oleh masyarakat sekitar.

SUmber: Neomisteri.com

 
Atas